pencarian cepat

Selasa, 11 Desember 2012

Metode Penelitian Sosiologi Pendidikan (Teori Makro)


Metode Penelitian Sosiologi - Selamat berkunjung kembali di blog Kumpulan Ilmu dan Seputar Informasi Terkini. Pada kesempatan kali ini kami akan berbagi posting tentang Metode Penelitian Sosiologi Pendidikan. Untuk lebih lengkapnya silakan sobat sekedar menengok, lebih-lebih membaca posting sebelumnya tentang "Teori Konflik dalam Sosiologi". semoga bermanfaat.

1.Teori Fenomenologi


Perspektif Fenomenologi
Penelitian yang menggunakan pendekatan fenomenologis berusaha untuk memahami makna peristiwa serta interaksi pada orang-orang biasa dalam situasi tertentu. Pendekatan ini menghendaki adanya sejumlah assumsi yang berlainan dengan cara yang digunakan untuk mendekati perilaku orang dengan maksud menemukan “fakta” atau “penyebab”.

Jika peneliti menggunakan perspektif fenomenologi dengan paradikma definisi sosial biasanya peneliti ini bergerak pada kajian mikro. Perspektif fenomenoligi dengan paradigm definisi sosial ini akan member peluang individu sebagai subjek penelitian (informan penelitian) melakukan interpretasi terhadap intepretasi itu sampai mendapatkan makna yang berkaitan dengan pokok masalah penelitian, dalam hal demikian Berger menyebutnya dengan first order understanding and second order understanding.

Pendekatan fenomenologi mengakui adanya kebenaran empiric etik yang memerlukan akal budi untuk melacak dan menjelasskan serta berargumentasi. Akal budi ini mengandung makna bahwa kita perlu menggunakan criteria lebih tinggi lagi dari sekedar true or false (Muhadjir, dalam Tjipto 2009: 68).

2.Teori Interaksi Simbolis


Titik tolak pemikiran interaksi simbolik berasumsi bahwa realitas sosial sebagai proses dan bukan sesuatu yang bersifat statis. Dalam hal ini masyarakat dipandang sebagai sebuah interaksi simbolik bagi individu-individu yang ada didalamnya. Pada hakikatnya tiap manusia bukanlah “barang jadi” melainkan barang yang “akan jadi” karena itu teori interaksi simbolik membahas pula konsep mengenai “diri” (self) yang tumbuh berdasarkan suatu “negosiasi” makna dengan orang lain.

Menurut George Herbert Mead, cara manusia mengartikan dunia dan dirinya sendiri berkaitan erat dengan masyarakatnya. Mead melihat pikiran (mind) dan dirinya (self) menjadi bagian dari perilaku manusia yaitu bagian interaksinya dengan orang lain. Mead menambahkan bahwa sebelum seseorang bertindak, ia membayangkan dirinya dalam posisi orang lain dengan harapan-harapan orang lain dan mencoba memahami apa yang diharapkan orang itu (Mulyana, 2007).

Konsep diri (self consept) merupakan suatu bagian yang penting dalam setiap pembicaraan tentang kepribadian manusia. Konsep diri merupakan sifat yang unik pada manusia, sehingga dapat digunakan untuk membedakan manusia dari makhluk hidup lainnya. Keunikan konsep diri pada setiap individu pun relatif berbeda-beda karena antara individu satu dengan individu lainnnya mempunyai pola pikir yang berbeda.Konsep diri terbentuk dan dapat berubah karena interaksi dengan lingkungannya. Perkembangan yang berlangsung tersebut kemudian membantu pembentukan konsep diri individu yang bersangkutan. Konsep diri yang dimiliki individu dapat diketahui melalui informasi, pendapat dan penilaian atau evaluasi dari orang lain. Diri juga terdiri menjadi dua bagian yaitu diri obyek yang mengalami kepuasan atau kurang mengalami kepuasan dan diri yang bertindak dalam melayani diri obyek yang berupaya memberinya kepuasan.

Menurut Mead, tubuh bukanlah diri dan baru menjadi diri ketika pikiran telah berkembang. Sementara disisi lain bersama refleksivitasnya, diri adalah sesuatu yang mendasar bagi perkembangan pikiran. Tentu saja mustahil memisahkan pikiran dari diri, karena diri adalah proses mental. Namun, meskipun kita bisa saja menganggapnya sebagai proses mental, diri adalah proses sosial. Mekanisme umum perkembangan diri adalah refleksivitas atau kemampuan untuk meletakkan diri kita secara bawah sadar ditempat orang lain serta bertindak sebagaimana mereka bertindak. Akibatnya, orang mampu menelaah dirinya sendiri sebagaimana orang lain menelaah dia (Ritzer, 2004).

3.Teori etnografi



Menurut Bogdan dan Bilken dalam Tjipto (2009: 83) dijelaskan bahwa kerangka kerja yang digunakan dalam melaksanakan studi antropologi adalah konsep tentang kebudayaan (the concept of culture). Usaha untuk mendiskripsikan budaya atau aspek budaya disebut (ethnography). Budaya merupakan pengetahuan yang diperoleh seseorang dan digunakan untuk menginterpretasikan pengalaman yang menghasilkan sesuatu (Spradly dalam Tjipto, 2009: 83).

Beberapa antropologi mendefinisikan kebudayaan sebagai “Pengetahuan perolehan yang digunakan orang untuk menafsirkan pengalaman dan membuahkan tingkahlaku” (Spradly dalam Tjipto, 2009: 83). Dalam pengertian ini budaya merangkum apa yang dilakukan orang, dan barang-barang yang dibuat dan dipergunakan. Untuk mendiskripsikan budaya dalam perspektif ini, seorang peneliti meungkin berfikif tentang perristiwa dan kemudian menjelaskan peristiwa itu (menjelaskan tingkahlaku orang dengan jalan mendiskripsikan apa yang dialaminya).

Peneliti Etnografi agar dapat mencapai tujuan perlu memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut:
  1. Peneliti dituntut memiliki pengetahuan dan dedikasi yang tingi, sebab etnografi diperlukan pengamatan, interaksi dengan responden, atau anggota komunitas tertentu dalam waktu yang relative lama.
  2. Etnografi umumnya tidak tertarik dengan generalisasi seperti pada penelitian  psikometrik, tetapi lebih tertarik untuk memotret kondisi apa adanya.
  3. Fokus etnografi adalah situasi nyata dan setting secra alamiah dimana orang beraktifitas dan berhubungan sosial dengan anggota masyarakat lainnya.
  4. Etnografi menempatkan pada perlunya koleksi dan interpretasi data dari hipotesis yang sudah diterapkan.
  5. Etnografi bergerak dari data dalam mencari hipotesis, bukan hipotesis mencari data.

Dari hipotesis yang dibangun peneliti, etnografi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu Naturalistic Ecological Hypotheses (NEH) dan Qualitative Phenomenological Hypothesis (QHP). Naturalistic Ecological Hypothesis menyatakan bahwa konteks duania perilaku terjadi pada subjek yang diteliti, memiliki pengaruh signifikan terhadap perilaku subjek tersebut. Sedangakan dalam penelitian Qualitatif Phenomenological Hypothesis lebih mengkonsentrasikan etnografi dibnding dengan psikometrik, karena peneliti lebih percaya bahwa perilaku manusia tidak dapat dimengerti dengan lebih baik tanpa meleburkan diri bersama (incorporating) kedalam pengamatan persepsi subjek serta system kepercayaan diri mereks yang terlibat dalam penelitian .




Sumber

Baca selengkapnya »
abu rizal ababil. Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © ABU RIZAL blog 2010

Abu Rizal Blog